Thursday 23 May 2013

ENAM INSTRUMEN KEBIJAKAN ATASI EKSTERNALITAS

Menurut Sterner (2003), ada enam instrumen kebijakan untuk penanganan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam. Instrumen kebijakan ini dapat pula diimplementasikan untuk menangani dan mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan eksternalitas. Adaptasi keenam instrument kebijakan dimaksud adalah: (1) pengaturan langsung, (2) izin yang dapat diperjualbelikan, (3) pajak, (4) subsidi, deposit, pembayaran polusi, (5) hak kepemilikan, instrument legal, dan kebijakan pengelolaan informasi, serta (6) perencanaan menyeluruh.

Pemilihan suatu instrumen kebijakan tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, terutama berkaitan dengan penilaian kondisi saat ini (existing condition) dan kondisi masa dating (future condition) sebagai tujuan yang ingin dicapai. Perbedaan pemahaman dan pandangan terhadap kedua hal tersebut akan membawa perbedaan pada kebijakan yang dipilih. Selain itu satu jenis instrumen dapat digunakan untuk mencapai beberapa tujuan yang berbeda, tergantung bagaimana mengatur dan mengimplementasikan instrumen kebijakan tersebut. Misalnya penggunaan pajak kalau diterapkan berupa pajak lumpsump akan beda akibatnya terhadap sumberdaya alam dengan pajak ad valorem. Pajak ad valorem akan menyebabkan ongkos produksi semakin mahal bila tingkat ekspolitasi semakin tinggi, akibatnya jenis pajak ini akan cenderung mencegah atau menghambat eksploitasi yang lebih tinggi, sementara pajak lumpsump tidak memiliki efek demikian.

Dari uraian tersebut kita bisa memahami bahwa kedudukan informasi sangatlah penting dalam penentuan kebijakan untuk pengelolaan eksternalitas. Informasi memainkan peranan khusus dalam pengambilan keputusan. Bahkan bagaimana mengelola tersedianya informasi tertentu merupakan bagian instrumen kebijakan (Bemelmans-Vide, et al., 1998). Sebelum kebijakan yang sesuai mengenai penanganan industri batubara dikeluarkan, terlebih dahulu pengambil keputusan harus memahami dinamika dan karakteristik dari industri batubara ini. Tanpa pemahaman yang baik tentu akan sulit kita mengharapkan kebijakan yang tepat akan dapat dikeluarkan.

Marilah kita kembali kepada contoh spesifik kita yaitu industri batubara, dan bahwa dalam kenyataannya industri batubara di Kalimantan Selatan ini menimbulkan beberapa eksternalitas negative yang cukup signifikan, seperti persoalan banjir, ganguan kesehatan, polusi udara, kontaminasi air dan sejenisnya. Dalam proses produksi semua dampak negatif tersebut tidak diperhitungkan sebagai bagian dari biaya. Dengan demikian ongkos produksi eksploitasi batubara ini lebih murah daripada seharusnya, dan sesuai kaidah ilmu ekonomi, kita memahami bahwa sumberdaya yang bernilai lebih rendah dari seharusnya (under valued), akan terkuras lebih cepat karena biaya produksi yang rendah cenderung mendorong proses deplesi terhadap sumberdaya ini.

Apabila dilihat secara makro perekonomian Kalsel dan dilakukan perbandingan antara sektor industri batubara dengan sektor pertanian, terlihat bahwa dalam hal output pangsa industri batubara adalah 17%, sementara pertanian hanya 14%. Namun bila dilihat serapan tenaga kerja maka pertanian jauh lebih besar, yaitu menyerap 50% sementara batubara hanya 3%. Sementara itu untuk investasi, yang tertuang bagi industri batubara investasi mencapai 30% sedangkan untuk pertanian hanya sebesar 15% .



Gambaran di atas merupakan existing condition dari sektor industri batubara dan sektor pertanian. Selanjutnya sebelum mementukan instrumen kebijakan yang akan diterapkan, perlu pula ditetapkan bagaimana future condition yang diinginkan dari perekonomian kita, khususnya menyangkut industri batubara dan pertanian. Seperti telah diuraikan di atas future condition ini merupakan tujuan penerapan kebijakan. Ambilah misal bahwa tujuan kebijakan kita adalah “agar sumberdaya alam batubara tidak terdeplesi akibat dieksploitasi berlebihan dan memberi manfaat berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan sepadan dengan nilai outputnya.”

Deplesi sumberdaya batubara dapat terjadi akibat eksploitasi berlebihan, yang terjadi karena biaya eksploitasinya terlalu murah. Oleh karena itu kebijakan yang perlu diterapkan adalah menempatkan ongkos produksi pada tingkat yang seharusnya.

Menetapkan bahwa industri batubara harus menggunakan jalan sendiri merupakan salah satu bentuk kebijakan yang tepat, yang akan mendorong ongkos produksi naik mendekati tingkat seharusnya. Bentuk kebijakan ini menurut Sterner (2003) adalah dari kategori instrumen kebijakan no 1 yaitu pengaturan langsung terhadap teknologi atau tatacara yang digunakan dalam eksploitasi dan proses produksi. Instrumen lainnya yang juga dapat digunakan adalah pengenaan pajak secara ad valorem. Dengan pengenaan pajak ini biaya produksi akan semakin tinggi dan tingkat eksploitasi menurun, dan pada saat yang sama pemerintah akan memperoleh penerimaan dari pajak setelah dikurangi biaya pengumpulannya (Baumol and Oates, 1988).

Untuk mengatasi problema yang timbul dari eksternalitas negatif industri batubara seperti banjir, polusi udara, kontaminasi air dll, instumen kebijakan yang dapat digunakan adalah no 4 yaitu kategori subsidi, desposit dan pembayaran polusi. Subsidi bisa diberikan kepada masyarakat yang menderita akibat eksternalitas negative yang timbul. Deposit dan pembayaran polusi adalah setoran dari perusahaan yang melakukan eksploitasi. Perusahaan diwajibkan menyimpan deposit sejumlah tertentu. Bila banjir muncul deposit ini akan digunakan untuk masyarakat korban banjir, tapi bila ternyata banjir tidak terjadi maka perusahaan berhak memperoleh kembali deposit mereka setelah periode tertentu (Kosmo, 1987).

Dalam penggunaan instrumen kebijakan ini, informasi yang akurat sangat diperlukan oleh otoritas pengambil keputusan. Informasi tentang bagaimana korelasi antara eksploitasi SDA batubara dengan banjir, berapa lama periode dampaknya akan muncul, berapa besar kerugian yang timbul akibat banjir bila dikuantifikasikan ke dalam nilai ekonomi, merupakan beberapa di antara informasi strategis yang perlu didapatkan terlebih dahulu (Sterner, 2003).

Melengkapi penerapan instrumen-instrumen kebijakan di atas, terutama kalau dikaitkan dengan komparasi data antara batubara dengan pertanian, maka instrumen lainnya yang juga perlu dipertimbangkan penerapannya adalah perencanaan menyeluruh yaitu no 6. Pengaturan yang dilakukan tidak hanya menyangkut sektor batubara saja, tetapi juga menyangkut bagaimana mengatur sektor pertanian juga yang terkait dengan batubara ini. Pengaturan ini bertujuan agar manfaat industri batubara dapat dinikmati masyarakat secara lebih merata, bukan hanya menguntungkan segelintir orang.

Dengan melihat data komponen perekonomian di atas, output besar di sektor batubara yang dibarengi dengan serapan tenaga kerja yang kecil menunjukkan bahwa dampak pertambahan nilai yang muncul hanya akan dinikmati oleh bagian kecil masyarakat saja. Artinya pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada batubara akan membuat distribusi pendapatan akan semakin memburuk. Mengingat bahwa serapan tenaga kerja di sektor pertanian sangatlah besar, maka bias ke batubara harus dialihkan menjadi bias ke pertanian. Investasi yang selama ini lebih banyak diarahkan ke batubara harus mulai disusun ulang agar mengarah ke sektor pertanian

 sumber:

luthfifatah.wordpress.com



No comments:

Post a Comment