Menurut Sterner (2003), ada enam instrumen kebijakan untuk penanganan
lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Instrumen kebijakan ini dapat pula diimplementasikan untuk menangani dan
mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan eksternalitas.
Adaptasi keenam instrument kebijakan dimaksud adalah: (1) pengaturan
langsung, (2) izin yang dapat diperjualbelikan, (3) pajak, (4) subsidi,
deposit, pembayaran polusi, (5) hak kepemilikan, instrument legal, dan
kebijakan pengelolaan informasi, serta (6) perencanaan menyeluruh.
Pemilihan suatu instrumen kebijakan tidak bisa dilepaskan dari
konteksnya, terutama berkaitan dengan penilaian kondisi saat ini
(existing condition) dan kondisi masa dating (future condition) sebagai
tujuan yang ingin dicapai. Perbedaan pemahaman dan pandangan terhadap
kedua hal tersebut akan membawa perbedaan pada kebijakan yang dipilih.
Selain itu satu jenis instrumen dapat digunakan untuk mencapai beberapa
tujuan yang berbeda, tergantung bagaimana mengatur dan
mengimplementasikan instrumen kebijakan tersebut. Misalnya penggunaan
pajak kalau diterapkan berupa pajak lumpsump akan beda akibatnya
terhadap sumberdaya alam dengan pajak ad valorem. Pajak ad valorem akan
menyebabkan ongkos produksi semakin mahal bila tingkat ekspolitasi
semakin tinggi, akibatnya jenis pajak ini akan cenderung mencegah atau
menghambat eksploitasi yang lebih tinggi, sementara pajak lumpsump tidak
memiliki efek demikian.
Dari uraian tersebut kita bisa memahami bahwa kedudukan informasi
sangatlah penting dalam penentuan kebijakan untuk pengelolaan
eksternalitas. Informasi memainkan peranan khusus dalam pengambilan
keputusan. Bahkan bagaimana mengelola tersedianya informasi tertentu
merupakan bagian instrumen kebijakan (Bemelmans-Vide, et al., 1998).
Sebelum kebijakan yang sesuai mengenai penanganan industri batubara
dikeluarkan, terlebih dahulu pengambil keputusan harus memahami dinamika
dan karakteristik dari industri batubara ini. Tanpa pemahaman yang
baik tentu akan sulit kita mengharapkan kebijakan yang tepat akan dapat
dikeluarkan.
Marilah kita kembali kepada contoh spesifik kita yaitu industri
batubara, dan bahwa dalam kenyataannya industri batubara di Kalimantan
Selatan ini menimbulkan beberapa eksternalitas negative yang cukup
signifikan, seperti persoalan banjir, ganguan kesehatan, polusi udara,
kontaminasi air dan sejenisnya. Dalam proses produksi semua dampak
negatif tersebut tidak diperhitungkan sebagai bagian dari biaya. Dengan
demikian ongkos produksi eksploitasi batubara ini lebih murah daripada
seharusnya, dan sesuai kaidah ilmu ekonomi, kita memahami bahwa
sumberdaya yang bernilai lebih rendah dari seharusnya (under valued),
akan terkuras lebih cepat karena biaya produksi yang rendah cenderung
mendorong proses deplesi terhadap sumberdaya ini.
Apabila dilihat secara makro perekonomian Kalsel dan dilakukan
perbandingan antara sektor industri batubara dengan sektor pertanian,
terlihat bahwa dalam hal output pangsa industri batubara adalah 17%,
sementara pertanian hanya 14%. Namun bila dilihat serapan tenaga kerja
maka pertanian jauh lebih besar, yaitu menyerap 50% sementara batubara
hanya 3%. Sementara itu untuk investasi, yang tertuang bagi industri
batubara investasi mencapai 30% sedangkan untuk pertanian hanya sebesar
15% .
Gambaran di atas merupakan existing condition dari sektor industri
batubara dan sektor pertanian. Selanjutnya sebelum mementukan instrumen
kebijakan yang akan diterapkan, perlu pula ditetapkan bagaimana future
condition yang diinginkan dari perekonomian kita, khususnya menyangkut
industri batubara dan pertanian. Seperti telah diuraikan di atas future
condition ini merupakan tujuan penerapan kebijakan. Ambilah misal
bahwa tujuan kebijakan kita adalah “agar sumberdaya alam batubara tidak
terdeplesi akibat dieksploitasi berlebihan dan memberi manfaat berupa
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan sepadan dengan
nilai outputnya.”
Deplesi sumberdaya batubara dapat terjadi akibat eksploitasi
berlebihan, yang terjadi karena biaya eksploitasinya terlalu murah.
Oleh karena itu kebijakan yang perlu diterapkan adalah menempatkan
ongkos produksi pada tingkat yang seharusnya.
Menetapkan bahwa industri batubara harus menggunakan jalan sendiri
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang tepat, yang akan mendorong
ongkos produksi naik mendekati tingkat seharusnya. Bentuk kebijakan ini
menurut Sterner (2003) adalah dari kategori instrumen kebijakan no 1
yaitu pengaturan langsung terhadap teknologi atau tatacara yang
digunakan dalam eksploitasi dan proses produksi. Instrumen lainnya yang
juga dapat digunakan adalah pengenaan pajak secara ad valorem. Dengan
pengenaan pajak ini biaya produksi akan semakin tinggi dan tingkat
eksploitasi menurun, dan pada saat yang sama pemerintah akan memperoleh
penerimaan dari pajak setelah dikurangi biaya pengumpulannya (Baumol and
Oates, 1988).
Untuk mengatasi problema yang timbul dari eksternalitas negatif
industri batubara seperti banjir, polusi udara, kontaminasi air dll,
instumen kebijakan yang dapat digunakan adalah no 4 yaitu kategori
subsidi, desposit dan pembayaran polusi. Subsidi bisa diberikan kepada
masyarakat yang menderita akibat eksternalitas negative yang timbul.
Deposit dan pembayaran polusi adalah setoran dari perusahaan yang
melakukan eksploitasi. Perusahaan diwajibkan menyimpan deposit sejumlah
tertentu. Bila banjir muncul deposit ini akan digunakan untuk
masyarakat korban banjir, tapi bila ternyata banjir tidak terjadi maka
perusahaan berhak memperoleh kembali deposit mereka setelah periode
tertentu (Kosmo, 1987).
Dalam penggunaan instrumen kebijakan ini, informasi yang akurat
sangat diperlukan oleh otoritas pengambil keputusan. Informasi tentang
bagaimana korelasi antara eksploitasi SDA batubara dengan banjir, berapa
lama periode dampaknya akan muncul, berapa besar kerugian yang timbul
akibat banjir bila dikuantifikasikan ke dalam nilai ekonomi, merupakan
beberapa di antara informasi strategis yang perlu didapatkan terlebih
dahulu (Sterner, 2003).
Melengkapi penerapan instrumen-instrumen kebijakan di atas, terutama
kalau dikaitkan dengan komparasi data antara batubara dengan pertanian,
maka instrumen lainnya yang juga perlu dipertimbangkan penerapannya
adalah perencanaan menyeluruh yaitu no 6. Pengaturan yang dilakukan
tidak hanya menyangkut sektor batubara saja, tetapi juga menyangkut
bagaimana mengatur sektor pertanian juga yang terkait dengan batubara
ini. Pengaturan ini bertujuan agar manfaat industri batubara dapat
dinikmati masyarakat secara lebih merata, bukan hanya menguntungkan
segelintir orang.
Dengan melihat data komponen perekonomian di atas, output besar di
sektor batubara yang dibarengi dengan serapan tenaga kerja yang kecil
menunjukkan bahwa dampak pertambahan nilai yang muncul hanya akan
dinikmati oleh bagian kecil masyarakat saja. Artinya pola pembangunan
ekonomi yang bertumpu pada batubara akan membuat distribusi pendapatan
akan semakin memburuk. Mengingat bahwa serapan tenaga kerja di sektor
pertanian sangatlah besar, maka bias ke batubara harus dialihkan menjadi
bias ke pertanian. Investasi yang selama ini lebih banyak diarahkan ke
batubara harus mulai disusun ulang agar mengarah ke sektor pertanian
sumber:
luthfifatah.wordpress.com
No comments:
Post a Comment